Dana kelurahan adalah peluang emas untuk membangun dari bawah, menyentuh kebutuhan warga secara langsung, dan menyelesaikan masalah nyata di lingkungan sekitar. Sayangnya, di banyak tempat, manfaat dana ini tidak benar-benar terasa oleh masyarakat. Yang tampak hanya proyek-proyek kecil yang cepat selesai, tapi cepat pula dilupakan.
Salah satu penyebab utamanya adalah sikap “cari aman” dari pihak kelurahan—mulai dari lurah, sekretaris, hingga staf teknis. Mereka lebih fokus pada prosedur agar tidak disalahkan, daripada pada dampak agar warga merasakan manfaat. Dalam bahasa sederhana: takut salah lebih besar daripada niat berbuat baik.
Mengapa Aparat Kelurahan Terlalu Hati-hati?
Pertama, ada ketakutan akan pemeriksaan keuangan dari inspektorat, BPK, atau aparat penegak hukum. Mereka khawatir jika program terlalu kreatif, bisa dianggap melanggar aturan.
Kedua, banyak aparat kelurahan yang belum percaya diri secara teknis. Mereka tidak dibekali kemampuan menyusun program berbasis kebutuhan warga dengan format laporan yang rapi dan bisa dipertanggungjawabkan.
Ketiga, ada kekhawatiran sosial dan politik lokal. Mereka takut membantu kelompok tertentu bisa menimbulkan kecemburuan atau tuduhan pilih kasih, sehingga akhirnya memilih program “netral” yang tidak berdampak apa-apa.
Hasilnya? Mandek. Tidak Terasa. Tidak Diingat.
Akibat sikap terlalu hati-hati ini, dana kelurahan cenderung digunakan untuk kegiatan yang itu-itu saja: pelatihan formal tanpa kelanjutan, pengecatan, pembuatan papan nama, atau kegiatan seremonial yang hanya menguntungkan panitia.
Warga pun mulai apatis. Mereka hadir di musyawarah hanya karena kewajiban. Mereka tidak menanti program kelurahan karena merasa tidak akan ada yang berubah.
Solusinya: Berani Berinovasi, Tapi Tetap Tertib
Kami tidak sedang menyuruh pihak kelurahan sembarangan mengelola dana. Yang kami dorong adalah keberanian untuk mengutamakan manfaat warga, tanpa melanggar aturan.
Berikut solusi praktis yang bisa dilakukan:
1. Libatkan warga sejak awal secara nyata. Bukan hanya undang tokoh, tapi juga pelaku UMKM, ibu rumah tangga, pemuda pengangguran, dan kelompok rentan.
2. Gunakan dana untuk kegiatan padat karya dan pemberdayaan ekonomi, seperti pelatihan dengan alat bantu, pengolahan limbah, atau produksi skala rumahan yang bisa menyerap tenaga warga.
3. Buka ruang konsultasi dan pendampingan teknis, agar aparat tidak merasa sendirian menghadapi tanggung jawab besar ini.
4. Dorong transparansi total, dari papan informasi anggaran sampai laporan digital yang bisa diakses warga.
5. Tingkatkan kapasitas aparat kelurahan dalam manajemen risiko dan akuntabilitas. Takut diperiksa itu wajar, tapi tidak boleh menghambat kerja nyata.
Oleh: redaksi