Redaksi, 26 Mei 2025
Setiap tahun, cerita yang sama terulang di Bengkulu: kelangkaan BBM, antrean mengular di SPBU, keluhan nelayan, sopir angkot yang tidak bisa bekerja, dan masyarakat yang makin frustrasi. Tahun ini pun tidak berbeda. Solar langka, bensin tersendat, dan masyarakat kembali jadi korban dari sistem distribusi energi yang tak kunjung dibenahi.
Pertanyaannya: sampai kapan kita akan membiarkan hal ini terjadi?
Bengkulu tidak bisa terus bergantung pada satu pemain. Dalam hal ini: Pertamina. Sebagai BUMN energi, Pertamina memang memiliki mandat besar, tetapi realita di lapangan menunjukkan bahwa kinerja distribusi BBM di Bengkulu belum mampu memenuhi kebutuhan secara stabil. Ketika masalah ini terus terjadi dari tahun ke tahun tanpa perbaikan signifikan, maka sudah waktunya kita memikirkan opsi lain. Bahkan, harus.
Terutama sejak sektor hilir migas dibuka untuk persaingan usaha (pasca UU Migas No. 22 Tahun 2001). Jadi, meskipun Pertamina masih dominan, perusahaan swasta kini sudah ikut mengoperasikan SPBU dan distribusi BBM di berbagai daerah.
Buka peluang untuk perusahaan BBM selain Pertamina. Sudah banyak daerah di Indonesia yang membuka ruang bagi pemain baru dalam distribusi bahan bakar, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Vivo, AKR, Shell, dan BP telah masuk ke pasar Indonesia, dan kehadiran mereka memberikan alternatif pasokan yang nyata, bukan ancaman.
Baca https://matobengkulu.com/harga-pertamina-versus-spbu-swasta-per-maret-2025/
Mengapa Bengkulu tidak bisa melakukan hal yang sama?
Ini bukan soal mengganti Pertamina, tapi soal menghadirkan kompetisi. Tanpa kompetitor, tidak ada tekanan bagi pelayanan menjadi lebih baik. Tanpa alternatif, masyarakat tidak punya pilihan selain menerima kondisi yang ada—betapa pun buruknya itu.
Pemerintah daerah Bengkulu tidak bisa terus diam. Saat krisis BBM menjadi agenda tahunan yang selalu berulang, tanggung jawab tidak bisa lagi diserahkan sepenuhnya ke pusat. Harus ada langkah konkret dari pemangku kebijakan di daerah buka regulasi, ajukan kerja sama, undang investor, dan siapkan kebijakan yang memungkinkan perusahaan BBM non-Pertamina masuk dan beroperasi di Bengkulu secara legal dan terkendali.
(Video Kiriman warga 26/05/2025: Tampak Antrian salahsatu SPBU di kota Bengkulu)
Transparansi dan pengawasan tetap harus dikedepankan. Kita tentu tidak ingin kualitas dan keamanan dikorbankan. Namun justru dengan membuka peluang, maka kontrol dan audit bisa ditingkatkan karena ada pembanding, ada tolok ukur pelayanan dan distribusi dari beberapa penyedia, bukan hanya satu.
Bengkulu bukan provinsi kecil tanpa potensi. Dengan pelabuhan laut, jalur logistik nasional, dan pertumbuhan ekonomi yang mulai bergerak, sudah selayaknya Bengkulu ikut dalam gelombang reformasi energi nasional.
Karena jelas krisis BBM di Bengkulu bukan lagi kejadian insidental. Ini sudah jadi pola. Dan setiap pola buruk hanya bisa diputus dengan keberanian untuk berubah.
Kalau dulu antre dianggap normal, sekarang masyarakat merasa tidak seharusnya seperti itu lagi.
Gubernur baru dianggap mewakili semangat reformasi, kecepatan, dan pelayanan yang lebih manusiawi.
Maka, begitu realita tak sesuai dengan harapan, viral menjadi media evaluasi publik
Kenapa sekarang viral?
Karena rakyat sudah tidak rela diperlakukan “seperti dulu”. Mereka percaya bisa mendapat pelayanan yang lebih baik, dan ketika ekspektasi itu tidak terpenuhi, mereka tidak diam. Mereka protes, menyindir, bahkan mempermalukan melalui media sosial.
Bukan karena antrean makin parah, tapi karena mentalitas rakyat Bengkulu sudah berubah dari pasrah, menjadi menuntut perubahan nyata.(Redaksi)