Jakarta, 1 Mei 2025 – Pemerintah dan DPR akhirnya menyetujui pencabutan pasal kontroversial dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang selama ini dianggap menjadi alat kriminalisasi kebebasan berpendapat, khususnya pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik. Keputusan ini menuai sambutan hangat, tetapi sekaligus menyisakan banyak pertanyaan, terutama terkait perlakuan hukum terhadap institusi pemerintah dan pejabat publik.
Pencabutan Pasal 27 Ayat (3)
Pasal 27 ayat (3) UU ITE, yang selama ini berbunyi:
> “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”
— telah resmi dihapus dalam revisi terbaru UU ITE yang disahkan oleh DPR pada sidang paripurna April 2025.
Langkah ini diambil setelah bertahun-tahun desakan masyarakat sipil, akademisi, dan aktivis kebebasan berekspresi yang menyebut pasal tersebut sebagai “pasal karet” karena multitafsir dan rawan disalahgunakan.
Kritik terhadap Pemerintah Tidak Lagi Dapat Dipidana?
Dengan dihapusnya pasal ini, banyak pihak bertanya: apakah pemerintah masih bisa menjerat masyarakat yang mengkritik kebijakannya secara tajam di media sosial?
Menteri Komunikasi dan Informatika, dalam konferensi pers, menyatakan bahwa UU ITE kini tidak bisa lagi digunakan untuk mempidanakan masyarakat atas tuduhan pencemaran nama baik terhadap institusi pemerintah. Sebab, secara yuridis, pasal pencemaran nama baik hanya melindungi kehormatan pribadi, bukan lembaga.
“Negara tidak bisa merasa tersinggung. Pemerintah adalah entitas publik yang harus siap dikritik,” ujar Menteri Kominfo. “Pasal ini kita cabut demi melindungi kebebasan berekspresi rakyat.”
Pejabat Publik Tak Lagi Bisa Lapor?
Polemik berlanjut ketika muncul pertanyaan: apakah pejabat publik, misalnya menteri, gubernur, atau bupati, masih bisa melaporkan masyarakat yang mengkritik mereka?
Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, penghapusan pasal ini seharusnya membatasi ruang bagi pejabat publik untuk membawa kritik ke ranah pidana.
“Pejabat publik harus menerima kritik sebagai bagian dari konsekuensi jabatan. Kalau merasa dirugikan secara pribadi, mereka bisa menempuh jalur perdata, bukan pidana,” kata Direktur LBH.
Namun demikian, masih terdapat celah melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 310 dan 311 tentang penghinaan, yang hingga kini belum dicabut. Para aktivis menyebut ini sebagai “jalan belakang” yang masih berpotensi disalahgunakan.
Reaksi Masyarakat
Penghapusan pasal ini dianggap sebagai kemenangan kecil untuk demokrasi, namun juga menjadi pengingat bahwa masih banyak pekerjaan rumah terkait regulasi digital di Indonesia.
“Ini langkah maju, tapi belum final. Kalau pejabat masih bisa pakai KUHP untuk menyerang balik kritik warga, maka esensinya belum berubah,” kata Damar Juniarto, Direktur SAFEnet.
Penutup
Dengan dicabutnya pasal pencemaran nama baik dari UU ITE, ruang publik di Indonesia diharapkan menjadi lebih sehat, terbuka, dan demokratis. Pemerintah sebagai pengelola negara tak lagi bisa berlindung di balik pasal-pasal karet untuk menutup telinga dari kritik rakyat.
Namun, masyarakat juga diimbau tetap bijak dalam menggunakan media sosial—kritik boleh keras, tapi harus berdasar dan tidak memuat ujaran kebencian, hoaks, atau fitnah. Demokrasi yang matang bukan hanya soal kebebasan berbicara, tetapi juga tanggung jawab dalam berbicara.(Red)